AJH Center: Pelaksanaan Reforma Agraria Butuh Terobosan Hukum dan Libatkan Masyarakat


kredit foto: Lentera diatas Bukit kredit foto: Lentera diatas Bukit

MEDIAANDALAS.COM, JAKARTA – Di era kemerdekaan, akar masalah agraria di Indonesia dimulai dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah Indonesia harus mengembalikan sejumlah perkebunan besar yang sebelumnya dimiliki oleh Belanda.

Perjanjian yang sangat kompromis tersebut disepakati bersamaan dengan sejumlah perjanjian lainnya, misalnya diserahkannya Irian Barat ke kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Untuk proses pengembalian sejumlah perkebunan besar tersebut, pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh menyerukan kepada kaum tani yang pada saat itu sudah mulai menggarap di atas tanah-tanah eks perkebunan Belanda tersebut, menyusul aksi-aksi penolakan kaum tani untuk meninggalkan tanah garapannya.

Hingga tahun 1954, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU Darurat No. 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian Soal Pemakaian Tanah Perkebunan Oleh Rakyat, yang isinya membenarkan secara hukum tentang penggarapan tanah-tanah perkebunan oleh rakyat.

Terlebih-lebih, ketika Belanda juga kemudian mengingkari kesepakatannya tentang Irian Barat, yang berdampak pada pembatalan perjanjian KMB yang logikanya juga menggugurkan seluruh kesepakatan yang ada termasuk pengambilalihan tanah-tanah perkebunan Belanda ke tangan Belanda.

Maka, sejak saat itu, tidak ada lagi keraguan bagi kaum tani untuk menggarap lahan pertaniannya khususnya di tanah-tanah eks perkebunan Belanda pada saat itu.

Pemerintah Indonesia kemudian menilai bahwa masalah agraria yang ada pada saat itu, yang hingga saat ini masih terjadi, yaitu masalah ketimpangan penguasaan lahan.

Sejak tahun 1948, beberapa tahun tiga tahun setelah kemerdekaan, telah dimulai proses perumusan kebijakan pertanahan untuk mengatasi masalah ketimpangan penguasaan lahan tersebut.

Lahirlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA 1960, yang pada intinya memandatkan Negara untuk melaksanakan land reform.

Land reform yang, dengan dinamika politik Indonesia, saat ini dikenal dengan Reforma Agraria atau Pembaruan Agraria, berisi tentang prioritas penguasaan tanah oleh petani (tanah untuk petani penggarap) untuk kesejahteraan petani.

Karena penguasaan tanah merupakan elemen kemerdekaannya kaum tani, dimana mereka bisa berproduksi dan memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan dapat memberi makan warga di sekitarnya dengan surplus pertanian yang mereka miliki.

Reforma Agraria sejati adalah pelaksanaan apa yang sudah dimandatkan di dalam UUPA 1960. Walaupun UUPA 1960 hingga saat ini tidak dipergunakan lagi, baik dalam pelaksanaan program pembangunan maupun menjadi rujukan dalam peraturan turunan yang ada, namun UUPA 1960 tetap sah menjadi peraturan RI dan tetap berlaku.

Mandat utamanya adalah pembatasan penguasaan tanah untuk diberikan kepada sejumlah petani penggarap agar ketimpangan penguasaan tanah-tanah pertanian bisa hilang.

Untuk itu, Negara harus melakukan identifikasi jumlah petani penggarap dan mereka yang bekerja sebagai buruh pertanian.

Mereka semua yang kemudian menjadi subjek program land reform (atau reforma agraria), di saat yang bersamaan Negara juga melakukan identifikasi tanah-tanah yang bisa diberikan kepada sejumlah subjek program land reform, kemudian disebut objek program land reform.

Penentuan objek land reform dikumpulkan dari kelebihan tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan dan tuan tanah, tanah-tanah swapradja, tanah-tanah guntai atau absentee dan tanah Negara lainnya.

Dengan demikian, Negara harus menjamin tersedianya sejumlah bidang tanah yang idealnya dikuasai oleh masing-masing keluarga seluas dua hektar, untuk dibagikan kepada sejumlah petani penggarap, buruh tani dan mereka yang ingin bermatapencaharian sebagai petani.

Diasumsikan akan teratasi masalah ketimpangan penguasaan lahan dan tidak ada konflik agraria di masa datang karena setiap keluarga petani memiliki luas lahan yang relative sama.

Program land reform ini, menurut UUPA 1960, bukanlah sebuah program Negara yang berkelanjutan. UUPA 1960, juga berdasarkan pengalaman dari Negara-negara yang telah melakukan program land reform, ini adalah program dengan jangka waktu tertentu dan program yang sistimatis.

Ketika program ini selesai, maka Negara harus melanjutkannya dengan program pembangunan pertanian, untuk mendukung kegiatan produksi pertanian keluarga petani hingga proses distribusi hasil panennya.

Surplus yang mereka hasilkan akan menjadi fondasi proses-proses industrialisasi di Negara ini. Secara perlahan, dengan kekuatan ekonomi di sektor pertanian yang mengandalkan surplus dari sektor pertanian yang berada di tangan sejumlah keluarga petani, program industrialisasi akan berjalan lebih baik dan kokoh.

Oleh karenanya, dalam pelaksanaan reforma agraria butuh terobosan hukum dan libatkan masyarakat. Penyelesaian konflik agraria kerap menemui jalan buntu karena antar kementerian saling lempar tanggung jawab.

Pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan terkat pelaksanaan reforma agrarian, salah satunya Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Beleid itu memandatkan 7 tujuan reforma agraria. Antara lain mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan serta menangani sengketa dan konflik agraria.

Temuan Ombudsman belum lama ini menyebut ada potensi maladministrasi kebijakan reforma agraria. Terutama terkait konflik dan redistribusi tanah yakni penundaan berlarut, tidak memberikan pelayanan, dan penyalahgunaan wewenang.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika, menyebut pelaksanaan reforma agraria macet. Alih-alih menyelesaikan konflik agararia, dia melihat lembaga pemerintahan terkait justru seolah mengabaikan.

Penyelesaian konflik kerap menghadapi berbagai kendala, tapi Dewi melihat penanganan yang dilakukan biasa-biasa saja, sehingga tidak tuntas.

Menurutnya, konflik agraria harus diselesaikan melalui terobosan hukum, sehingga mampu menghadirkan kepastian bagi masyarakat. “Tuntutan kita agar penyelesaian konflik agraria dilakukan dengan terobosan hukum,” kata Dewi Kartika ketika di hubungi, Kamis (9/6/2022).

Dewi melihat sampai saat ini masyarakat belum dilibatkan secara komprehensif oleh pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria. Menurutnya, masyarakat perlu dilibatkan untuk mengurai beragam persoalan yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria, misalnya ketika berhadapan dengan konsesi yang dimiliki BUMN, bagaimana penyelesaiannya?

Selama ini skema yang ditawarkan bukan redistribusi tanah (untuk masyarakat), tapi kemitraan. “Kemitraan ini berarti bukan pengakuan hak secara penuh. Artinya, tidak ada terobosan hukum,” bebernya.

Dari laporan yang pernah diadukan ke KSP, Dewi menyebut pihak KSP mengklaim telah mengadakan pertemuan dengan BUMN terkait, tapi penyelesaiannya tidak mudah. Dewi mengingatkan Perpres No.86 Tahun 2018 membuka peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengusulkan Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

“Persoalannya konflik agraria yang ada di lokasi tersebut tidak diselesaikan dan pemerintah cenderung lebih mengutamakan obyek yang statusnya bersih dari sengketa atau clean and clear.”

Dewi menegaskan mandat Perpres No.86 Tahun 2018 adalah konflik agraria harus diselesaikan terlebih dulu. Itu tugas utama yang harus dikerjakan kementerian dan lembaga terkait termasuk GTRA. Rumitnya prosedur dan absennya terobosan hukum membuat pelaksanaan reforma agraria terhambat.

“Misalnya ketika ada konflik antara BUMN dan masyarakat hukum adat, nanti ATR/BPN angkat tangan dengan alasan harus melalui Kementerian BUMN dulu dan Kemenkeu karena harus dikeluarkan dari status aset negara. Jadi intinya tidak ada terobosan,” tegas Dewi.

Begitu juga ketika konflik terjadi di kawasan hutan, Dewi mengatakan kementerian / lembaga terkait saling lempar tanggung jawab dan menyebut harus dilepaskan dulu statusnya dari kawasan hutan. Berbagai prosedur itu membuat lahan obyek reforma agraria yang diusulkan masyarakat sering kandas.

Dewi mencatat sejak 2016 berbagai organisasi masyarakat yang tergabung dalam KPA sudah mengusulkan sekitar 700 ribu hektar lahan sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria.

Tapi realisasinya sampai saat ini hanya 4 persen yang prosesnya melalui penyelesaian konflik dan redistribusi tanah, bukan pensertifikatan tanah yang banyak dilakukan. Sebelumnya, Pemerintah mendorong Program Strategis Nasional Reforma Agraria yang juga berkontribusi dalam pemulihan ekonomi nasional.

Program tersebut berkontribusi melalui penataan aset dengan redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebagai modal usaha produktif, dan penataan akses atau kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan memberikan bantuan permodalan, bantuan sarana produksi, akses pemasaran, serta pelatihan dan pendampingan usaha kepada masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, berdasarkan Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor untuk mendukung percepatan pelaksanaan Program Strategis Nasional Reforma Agraria.

Dalam acara puncak GTRA Summit 2022 di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Kamis (9/6/2022), Presiden Joko Widodo mengharapkan GTRA dapat segera mengintegrasikan dan memadukan seluruh Kementerian, Lembaga, dan Pemerintah Daerah, untuk bekerja dengan tujuan yang sama yaitu menyelesaikan masalah-masalah yang ada di masyarakat agar sengketa lahan bisa diselesaikan. Presiden juga menegaskan bahwa semua harus mengikuti dan mendukung Kebijakan Satu Peta.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto selaku Ketua Tim Reforma Agraria Nasional yang turut hadir secara virtual dalam kesempatan tersebut mengatakan pertemuan GTRA merupakan hal yang sangat penting dan strategis di tengah upaya untuk terus melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) pasca pandemi Covid-19.

“Saya mengapresiasi GTRA yang telah bekerja keras untuk melaksanakan Program Reforma Agraria guna mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan, utamanya untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, serta menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,” kata Airlangga, Kamis (9/6/2022) beberapa waktu lalu.

Airlangga juga menyampaikan bahwa sesuai amanat Undang-Undang Cipta Kerja, Pemerintah menyusun Peta Indikatif Tumpang Tindih Izin Pemanfaatan Ruang (PITTI) untuk menyelesaikan ketidaksesuaian izin usaha dan hak atas tanah. 

“Saya mengapresiasi GTRA yang telah bekerja keras untuk melaksanakan Program Reforma Agraria guna mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan lahan, utamanya untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, serta menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,” kata Airlangga, Kamis (9/6/2022).

Airlangga juga menyampaikan bahwa sesuai amanat Undang-Undang Cipta Kerja, Pemerintah menyusun Peta Indikatif Tumpang Tindih Izin Pemanfaatan Ruang (PITTI) untuk menyelesaikan ketidaksesuaian izin usaha dan hak atas tanah. 

“Kami harapkan dukungan dan kerja sama semua pihak, khususnya Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota, agar kita bersama-sama menyukseskan pelaksanaan Reforma Agraria demi kesejahteraan masyarakat.”

Sumber Artikel : hukumonline.com

 

Berita Terkait

Top