Kajian AJH Center: Perang Kosmik Korupsi Politik dalam Merit Sistem

MEDIAANDALAS.COM, JAKARTA – Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), sistem merit didefinisikan sebagai kebijakan dan manajemen ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, yang diberlakukan secara adil dan wajar dengan tanpa diskriminasi.
Sebagai penjabaran agenda Prioritas RPJMN 2020-2024, penerapan sistem merit ditetapkan sebagai satu dari tiga program prioritas bidang aparatur dalam RKP 2020.
Pertama, peningkatan akuntabilitas kinerja, pengawasan, dan reformasi birokrasi; Kedua, peningkatan inovasi dan kualitas pelayanan publik; dan Ketiga, penguatan implementasi manajemen ASN berbasis merit.
Namun dalam prakteknya, kasus praktik jual beli jabatan di Indonesia masih menjadi salah satu jenis korupsi berupa suap yang sering terjadi, terutama pada sistem Pemerintahan Daerah.
Sebagai contoh praktik jual beli jabatan yang terungkap, yakni dugaan kasus Bupati Nganjuk (NRH) yang terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK dan Bareskrim Polri. Modus operandi dalam kasus ini adalah Camat diduga memberikan sejumlah uang kepada Bupati Nganjuk lewat Ajudan Bupati.
Berbagai Peraturan tentang ASN sudahlah sangat jelas dan gamblang terutama mengenai jenjang karir, metode yang digaungkan pemerintah dianggap efektif untuk promosi, mutasi maupun rotasi ASN adalah meritokrasi.
Meritokrasi dianggap sebuah metode yang bisa melahirkan ASN dalam kompetensinya memangku jabatan memiliki kualitas kompetensi mumpuni dalam menduduki sebuah jabatan.
Praktek jual beli jabatan rasanya sudahlah sangat bisa dimimalisir oleh Kepala Dearah, apabila sistem meritokrasi berjalan sesuai prosesur undang-undang.
Namun, meritokrasi justru terendus menimbulkan sebuah situasi gap politik yang dijalankan struktur pemerintahan dalam bentuk intervensi politik dalam birokrasi. Intervensi politik birokrasi biasanya muncul dikarenakan biaya Pilkada dan lemahnya pengawasan di daerah.
Terjadinya praktik jual beli di daerah disebabkan karena pejabat di daerah tidak diawasi secara maksimal oleh Inspektorat Daerah, seperti dalam hal rekrutmen, rotasi, promosi, pengadaan barang dan jasa, sampai dengan proses perizinan.
AJH Center dalam kajiannya menilai intervensi politik birokrasi melabeli sebuah resume pada publik bahwa terdapat dua hal yang menyebabkan praktik jual beli jabatan tetap ada.
Alasan ini menurut AJH Center disebabkan biaya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang sangat besar dan minimnya pengawasan KASN terhadap pengisian jabatan Kadis, Kabid, Camat hingga perangkat Desa.
Pengisian jabatan di daerah seharusnya tetap dalam pengawasan KASN agar tetap berbasis pada kompetensi, kualifikasi, dan kinerja.
Selain itu, akar permasalahan berada pada Pasal 53 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), dimana disebutkan bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan “kewenangan” menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian jabatan.
Hak-hak tersebut menimbulkan kekeliruan dan memberikan peluang kepada politisi untuk melakukan suap jual-beli jabatan.
Selain itu, kelemahan kinerja birokrasi yang dalam proses audit kinerjanya terjadi maladministrasi dalam birokrasi dengan indikator penilaian, rendahnya profesionalisme aparat.
Dalam praktiknya, individu birokrat sering bersikap tidak transparan, korup, dan mengembangkan praktik transaksional.
Aparat birokrasi yang seharusnya bertugas melayani kepentingan masyarakat seringkali terjebak pada kebutuhan pribadinya untuk meningkatkan karirnya melalui jalan pintas.
Indikator ini terbukti dengan banyaknya Kepala Daerah yang terkena OTT berkaitan dengan jual beli jabatan, karena praktek jual beli jabatan masuk peringkat kedua dalam case rate yang ditangani KPK setelah praktek jual beli proyek barang dan Jasa Pemerintah.
Selain itu, minimnya laporan atas dugaan praktik jual beli jabatan sebagai upaya menjerat ASN yang melakukan jual beli jabatan kepada Kepala Daerah dinilai cukup sulit.
Salah satu faktor penyebabnya adalah tidak adanya pihak yang mau melaporkan secara resmi mengenai adanya suap dalam praktik jual beli jabatan tersebut.
Sulitnya membuat orang yang mengetahui terjadinya praktik jual beli jabatan agar melaporkan dan mengungkapkannya.
Tujuan dari pelaporan adalah agar Komisi ASN dapat memanggil pihak yang bersangkutan untuk dimintai keterangan, dan dari keterangan yang didapat bisa memastikan apakah telah terdapat pelanggaran atau tidak yang dilakukan oleh ASN yang bersangkutan.
Namun pada kenyataannya, kerap terjadi masalah dimana rekomendasi yang disampaikan Komisi ASN tidak ditindaklanjuti.
Jika melihat pada Pasal 120 ayat (5) UU No.5 Tahun 2004 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), secara tegas dijelaskan bahwa rekomendasi Komisi ASN bersifat mengikat para pihak, hanya saja karena kewenangan Komisi ASN tidak berdampak langsung pada aspek kepegawaian maupun keuangan terhadap ASN, maka sulit untuk membuat efek jera.
Tentunya ini memberikan perhatian Kepala Daerah agar tidak main-main dalam menempatkan pejabat di posisi tertentu tanpa adanya transaksional.
Kepala Daerah telah concern dalam menghindari Praktek Jual Beli Jabatan terbukti adanya Open Bidding atau Lelang Jabatan yang diselenggarakan secara terbuka.
Oleh karena itu praktek jua beli jabatan antara Kepala Daerah dengan ASN yang bersifat transaksional ingin ditempatkan di posisi tertentu jarang kita temui.
Belakangan ini trendnya berubah yaitu tidak adanya praktek jual beli jabatan melalui Kepala Daerah, tetapi yang ada justru tidak dijalankannya merit sistem.
Bentuk korupsi saat ini cenderung bergeser pada korupsi politik yang mana dapam penempatan ASN di suatu posisi tertentu didasari sejauh mana ASN tersebut terlibat dalam mendukung Kepala Daerah dalam pilkada atau sejauh mana ASN tersebut dapat memberikan kontribusi politik kepada partai pengusung.
Disinilah pergeseran korupsi politik muncul, yang terjadi adalah tidak diimplementasikannya merit sistem dan yang diterapkan adalah trend praktek barter antara ASN dengan Tim Sukses Kepala Daerah serta Partai Politik pengusung saat seorang ASN ingin ditempatkan di posisi tertentu tanpa memperhatikan background pendidikan ataupun kompetensi.
Justru dalam merit sistem nuansa korupsi politik kental terjadi, indikasi ini bisa disimak, sejauh mana mereka, (ASN) bisa memberikan proyek-proyek pengadaan barang dan jasa kepada Tim Sukses maupun Partai Politik yang notabene pengusung Kepala Daerah atau titipan dari kepala Daerah.
Ketika yang bersangkutan sanggup memberikan semua, dalam arti mengkondisikan proyek-proyek, maka ASN tersebut mendapatkan nama baik, dan akan diajukan oleh Tim Sukses maupun Partai Politik kehadapan Kepala Daerah untuk menempatkan posisi strategis setingkat eselon 2 dan 3.
Dari kondisi hal tersebut, timbulah benih-benih praktek pengkondisian jual beli proyek-proyek Pemda. Sebagian besar biasanya dikuasai oleh Tim Sukses dan Parpol dengan memanfaatkan ASN yang telah diposisikan bisa mengamankan proyek tersebut.
Dari sinilah kita dapat melihat proses simbiosis mutualisme yaitu saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Disini posisi Kepala Daerah hanyalah sebagai penerima rekomendasi dari Tim Sukses maupun Parpol.
Kepala Daerah dibuat seolah-oleh tidak terlibat dalam transaksional jual beli jabatan dan pengkondisian proyek, kalau kita dapat mengistilahkan yaitu seperti proses pinjam tangan Kepala Daerah lewat Tim Sukses maupun Partai Politik pengusungnya.
Oligarki memunculkan peran dalam selubung celah merit sitem yang seharusnya ini menjadi peran utama Kepala Daerah dalam menjalankan tata kelola birokrasi pemerintahan guna mewujudkan visi misi membangun daerah melalui kualitas ASN yang dimiliki sebagai aset pemerintah.
Memang dalam prakteknya tidak ada nampak jual beli jabatan tetapi jelas tersirat paradigmanya berubah, berikut ini beberapa indikatornya:
Pertama, dari jual beli jabatan menjadi jual beli proyek;
Kedua, penempatan ASN mengabaikan merit sistem, sehingga merugikan ASN;
Ketiga, ASN ingin dapat jabatan harus dekat dan “loyal” kepada tim sukses, parpol pengusung dan Kepala Daerah;
Keempat, kabatan di barter dengan proyek yang di kondisikan untuk tim sukses, parpol pengusung.
Jika kondisi daerah seperti itu, maka proses pembangunan yang ada hanyalah autopilot belaka dalam arti yang penting anggaran tersrap dan hasil audit aman.
Kepala Daerah sibuk dengan pencitraan dirinya demi mendapat simpatik rakyat agar bisa terpilih lagi di periode berikutnya, tetapi sumber daya ASN diisi orang-orang yang tidak kompeten dalam bidang nya tetapi diisi oleh orang-orang yang bisa mengkondisikan keinginan Kepala Daerah.
Apakah ini dampak dari implementasi otonomi daerah sehingga melahirkan raja-raja kecil di daerah, dan Kepala Daerah dengan segala kewenangan penuhnya memberikan komando kepada ASN sesuai dengan selera dari Tim Sukses dan Partai Politik pengusung.
Timbul pertanyaan, bagimana dengan peran legislatif, peran yudikatif dalam menyikapi fenomena seperti ini yang hampir terjadi di seluruh Pemerintahan Daerah di Indonesia?
Penulis: AJH Center
Editor: Eka Himawan