Seruan Aktivis GNPK-RI Jabar: Penerapan UU Perampasan Aset dan UU Pembatasan Transaksi Tunai bentuk Konstitusi Bebas Korupsi


Aktivis GNPK-RI Jabar dalam Acara Dialog Kebangsaan dan Ngopi Bareng Bersama Prawiro Jabar dengan Narasumber Gleeny Kairupan. Sabtu, 18 Februari 2023. Di BTC Bandung Aktivis GNPK-RI Jabar dalam Acara Dialog Kebangsaan dan Ngopi Bareng Bersama Prawiro Jabar dengan Narasumber Gleeny Kairupan. Sabtu, 18 Februari 2023. Di BTC Bandung

MEDIAANDALAS.COM, JABAR – Format konstitusionalisme Indonesia tidak eksplisit mengadopsi prinsip anti korupsi ke dalam konstitusi. Bahkan, sejarah awal praktik konstitusionalisme republik ini sama sekali tidak memuat prinsip anti korupsi.

Perjuangan melawan korupsi belum menjadi bagian sentral dalam skema demokrasi konstitusional kita. Nihilnya basis konstitusionalitas anti korupsi mengakibatkan persoalan korupsi jarang dilihat melalui lensa konstitusi. Korupsi dipahami sebatas tindak pidana khusus, kerugian keuangan negara, dan kejahatan luar biasa.

Sikap Antikorupsi dengan “Mulailah Tidak Korupsi Dari Diri Sendiri” merupakan wujud nyata sikap bela negara. Bela negara itu bukan hanya milik militer, tetapi untuk seluruh rakyat Republik Indonesia yang berjuang untuk bangsa dan negara yang tentunya bebas korupsi, kolusi, nepotisme, berkeadilan menuju kesejahteraan sosial sebagaimana amanat UUD 1945.

GNPK-RI Jabar menyebut, penanaman sikap bela negara kepada seluruh komponen bangsa mampu menekan kasus korupsi yang dilakukan oleh masyarakat, termasuk pejabat negara. Bahwa sikap bela negara harus terus dipupuk demi terwujudnya sikap cinta Tanah Air Bebas dari Korupsi.

Pengesahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan diikuti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang telah memompa semangat dan optimisme baru akan pemberantasan korupsi.

Namun, upaya terus-menerus melemahkan, mengerdilkan, dan hari-hari ini menghancurkan eksistensi KPK membuktikan pemberantasan korupsi yang tidak ditopang basis konstitusionalitas antikorupsi pada level konstitusi rentan digoyang, bahkan dilenyapkan setiap waktu.

Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945 sama sekali tidak menyebut kata korupsi ataupun klausul anti korupsi. Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan UUD 1945 tidak sepatah kata menyebut korupsi atau klausul anti korupsi secara eksplisit ataupun implisit. UUD 1945 versi asli tidak menyediakan basis konstitusionalitas anti korupsi.

Ketua PW GNPK-RI Jabar, Abah Nana, sapaan Nana Supriatna Hadiwinata mengulas dan mengingatkan kepada semua aktivis GNPK-RI di seluruh Indonesia, “Tugas kita semakin berat dalam hal pencegahan korupsi, maka saya memandang, perlu adanya peningkatan SDM bagi seluruh Pengurus GNPK-RI disemua tingkatan.”

“Banyaknya korupsi dikarenakan lemahnya bidang pencegahan pada intitusi Aparat Penegak Hukum. Sehingga kita, GNPK-RI tetap berkontribusi kepada Pemerintah dengan melakukan sosio kontrol terhadap kinerja positif penyelenggara negara dan pelaku pembangunan lainnya.” Demikian disampaikan Abah Nana, Kamis (27/04/23)

Lanjut Abah Nana, “Sinergitas GNPK-RI dengan Yudikatif, dalam hal ini, Aparat Penegak Hukum (APH), Eksekutif dan Legislatif harus terus kita bangun, agar Pencegahan Korupsi sedini mungkin dapat kita lakukan.”

Hal senada dilontarkan Abd Jalil Hamzah, S.H, M.Kn selaku Wakil Ketua PW GNPK-RI Jabar, “Saat ini tidak sdikit informasi beredar bahwa istri pejabat APH yang ikut berbisnis. Kuat dugaan, terafiliasi dengan pengusaha lokal di daerah, dimana para suami mereka bertugas.

“Jadi kemungkinan besar berkelanjutan, jika pengusaha tersebut bermasalah dengan hukum, maka, mereka (oknum pejabat APH nya kuat dugaan ikut melindunginya). Pada akhirnya, yang suka bermain (hitam) termasuk oknum penguasa daerah ikut senang, karena Kartu As sama-sama dipegang.” Ungkap Pendiri AJH Center ini menuturkan.

“Pertanyaannya, apakah ini jebakan kekuasaan? Padahal insting Aparat Penagak Hukum (APH) pasti sudah jalan, walaupun tanpa dengan penyadapan teknologi yang canggih, begitu bukan?” Seloronya Om Doel sapaan akrabnya.

Situasi ini yang sering muncul dalam berbagai kasus korupsi di Republik Indonesia, terkadang dalam penegakakannya ada indukasi faktor kepentingan bukan kepada hal ikhwal penegakan supremasi hukum sebagaimana di amanahkan dalam Konstitusi Undang-Undang.

Atas dasar situasional diatas menurut Om Doel, metode yang tepat adalah, pemberantasan korupsi harus terukur dan berjangka waktu terbatas, jika sudah memakan waktu lama dan tidak ada pembenahan sistem yang kuat dan baik, dari atas kebawah (TOP DOWN), maka tidak ada salahnya jika para penyidik memanggil penguasa tertinggi negeri ini dan bertanya kapan sistem yang kuat dan baik itu bisa di realisasikan sebagai upaya penegakan supremasi hukum sebab Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang dalam bahasa Belanda yaitu rechtsstaat.

“Tak pelak, isu kepentingan Pemberantasan Korupsi mengemukan, adalah Undang-Undang Perampasan Aset kepada koruptor, termasuk isu Pencegahan Korupsi melalui Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai (Jadi pembayaran melalui Screening Perbankan) sehingga GNPK-RI bisa menyuarakan secara utuh dalam mendukung Undang-Undang Pembatasan Transaksi Tunai sehingga efektif pencegahannya.” Pungkas Pendiri AJH Center ini.

Selain itu, kokohnya gurita oligarki korupsi inilah menjadi faktor kekuatan utama pendorong pergeseran bentuk korupsi, dari satu jenis korupsi bersifat institusional (institusional corruption) jadi korupsi lebih bersifat struktural (structural corupption).

Satu bentuk korupsi yang bersemayam dalam gugusan sistem dan relung-relung struktural praktik kebijakan dan regulasi dari otoritas kekuasaan. Mencipta relasi kuasa ekonomi-politik dominan yang timpang yang makin mempermulus pelipatgandaan kekayaan pribadi, kelompok dan keluarga.

Modus operandi utama, dengan memanipulasi dan memperdaya ragam dimensi struktur politik guna memproduksi dan kontrol kendali atas izin dan konsesi untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Hasilnya, lahir kebijakan dan regulasi berciri psudo legal, regulatory chapter, dan legal non legitimed. Aneka bentuk kebijakan dan regulasi yang seolah-olah tampak “legal” di permukaan, namun hakekatnya justru menjauh dari tujuan kemaslahatan kemanusiaan dan nilai keadilan sosial-ekologis.

Dengan demikian, dapat ditegaskan, praktik korupsi sekarang, bukan lagi bersumber dari masalah kumuhnya sistem birokrasi, ruang regulasi remang-remang, atau praktik penyalahgunaan kewenangan institusional negara semata.

Ia lebih ruwet berurat akar pada kompleksitas struktur ketimpangan relasi kuasa ekonomi-politik yang menjelma gurita oligarki dan mafia korupsi. Inilah sebab, banyak lahir kebijakan dan regulasi bersifat ‘titipan dan pesanan’ dari kelompok orang “kuat.”

Melihat korupsi yang ‘massif’ dan daya rusaknya, maka sudah selayaknya seluruh komponen bangsa untuk memerangi korupsi dan mencegahnya supaya tidak membudaya di Indonesia. Artinya korupsi tidak menjadi kebiasaan yang dianggap wajar.

Perilaku korupsi bisa saja dianggap perbuatan yang wajar jika masyarakat sudah bersikap permisif terhadap korupsi dan tidak membangun sikap anti korupsi. Oleh sebab itu pencegahan dan pemberantasan korupsi harus melibatkan seluruh masyarakat Indonesia.

Peran masyarakat dalam memberantas korupsi dapat dilakukan melalui tiga pendekatan.

Strategi preventif, masyarakat berperan aktif mencegah terjadinya perilaku koruptif, misalnya dengan tegas menolak permintaan pungutan liar dan membiasakan melakukan pembayaran sesuai dengan aturan.

Strategi detektif, masyarakat diharapkan aktif melakukan pengawasan sehingga dapat mendeteksi terjadinya perilaku koruptif sedini mungkin.

Selanjutnya adalah strategi advokasi, masyarakat aktif melaporkan tindakan korupsi kepada institusi penegak hukum dan mengawasi proses penanganan perkara korupsi.

Editor : Eka Himawan

Berita Terkait

Top