AJH Center: Sengketa Tanah dan Cara Cek Agar Tidak Terkena Sengketa

MEDIAANDALAS.COM, CIREBON – Apakah boleh sertifikat tanah yang telah terbit dibatalkan oleh sepihak karena sertipikat tanah tersebut dianggap oleh salah satu pihak tidak benar? Karena pada saat pembelian tanah tersebut dihutang kepada penjual. Pada saat si penjual menagih utang tersebut si pembeli mengelak.
AJH Center mencoba mengulas dalam perjelasannya bagaimana pemindahan hak atas tanah melalui jualï-beli. Jual-beli tanah di Indonesia berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) harus dilakukan secara terang dan tunai.
Menurut Abdul Jalil Hamzah, S.H, M.Kn,. Sifat terang dan tunai merupakan sifat jual-beli tanah menurut hukum adat yang diakui berdasarkan pasal 5 UUPA yang berbunyi, Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
“Terang dan tunai artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan.” Ujarnya.
Lanjutnya, “Bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual-beli tanah disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli PPAT. Akta Jualï-Beli tersebut merupakan salah satu dokumen yang diperlukan dalam penerbitan sertifikat atas nama pemegang hak yang baru.”
Sertipikat hak atas tanah itu sendiri merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Demikian ketentuan pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
“Dalam penjelasan pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar.” Ungkap mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC).
“Lebih lanjut, pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 menyatakan, dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.” Papar Pendiri AJH Center ini.
Dalam ulasan permasalahan sebagaimana disebut diatas maka langkah pertama yaitu jangka waktu dari jual-beli tanah sampai dengan penerbitan sertipikat adalah KURANG dari lima tahun. Jika jangka waktunya adalah kurang dari lima tahun, untuk itu Penjual dapat :
– Mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat (Pembeli) dan Kepala Kantor Pertanahan atau;
– Mengajukan gugatan ke pengadilan mengenai penerbitan sertifikat tersebut.
Langkah kedua, yaitu jangka waktu dari jual-beli tanah sampai dengan penerbitan sertifikat adalah LEBIH dari lima tahun. Jika jangka waktunya lebih dari lima tahun, Penjual dapat mengugat ke Pengadilan dengan membuktikan bahwa perbuatan hukum jual-beli atas tanah antara Penjual dan Pembeli tidak sah karena:
– Jual-beli tidak memenuhi syarat tunai, karena pembelian dilakukan dengan cara hutang, dan
– Si Pembeli tidak mempunyai itikad baik sebagaimana diharuskan pasal 32 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997. Karena itu, sertifikat atas nama Pembeli menjadi tidak sah.
Kata sengketa tentu sudah tidak asing lagi di telinga kita. Sengketa adalah perbedaan kepentingan antar individu atau lembaga pada objek yang sama yang dimanifestasikan dalam hubungan-hubungan di antara mereka.
AJH Center mencoba menguraikan, sengketa yang sering terjadi salah satunya adalah sengketa tanah. Sengketa tanah biasanya kerap terjadi tidak hanya antar individu saja, namun juga antar kelompok. Ada berbagai macam cara untuk menyelesaikan sengketa tanah itu sendiri, namun bagaimana langkah-langkahnya?
Simak penjelasan lengkapnnya dalam ulasan yang disampaikan kali ini mengenai sengketa tanah dan contoh kasus yang ada di Indonesia.
– Apa Itu Sengketa Tanah?
– Dasar Hukum yang Mengatur Sengketa Tanah
– Langkah-Langkah Penyelesaian Sengketa Tanah
– Contoh Kasus Sengketa Tanah di Indonesia
Apa Itu Sengketa Tanah?
Sengketa tanah atau sengketa adalah perselisihan tanah yang melibatkan badan hukum, lembaga atau perseorangan dan secara sosio-politis tidak memiliki dampak luas. Penjelasan ini diatur dalam UU Sengketa Tanah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Indonesia Nomor 3 Tahun 2011.
Di dalamnya tertulis bahwa, secara detail tanah sengketa adalah tanah yang kepemilikannya dipermasalahkan oleh dua pihak, dimana kedua belah pihak saling berebut untuk mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Tanah sengketa adalah kasus yang sering terjadi di Indonesia.
Objek sengketa memang tidak melulu soal tanah, objek di sini didefinisikan sebagai benda baik berupa tanah maupun sumber daya alam lainnya seperti pepohonan yang dimanfaatkan atau diperebutkan oleh kedua belah pihak.
Seiring berjalannya waktu objek sengketa juga berkembang, tidak hanya objek yang kasat mata, namun kini juga banyak objek yang abstrak seperti udara bersih, keanekaragaman hayati, dan masih banyak lagi.
Kasus sengketa tanah banyak ditemukan dan tidak dapat dihindari apalagi zaman sekarang. Oleh karena itu saat melakukan transaksi baik tanah atau rumah wajib untuk mengecek segala dokumen kepemilikan dan sertifikatnya.
Dasar Hukum yang Mengatur Sengketa Tanah
Penyelesaian kasus sengketa tanah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa kasus pertanahan adalah sengketa, konflik, atau perkara tanah yang disampaikan kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, kantor pertanahan sesuai kewenangannya untuk mendapatkan penanganan dan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kasus pertanahan itu sendiri dibedakan menjadi tiga bagian antara lain:
1. Sengketa pertanahan, yaitu perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.
2. Konflik pertanahan, yaitu perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.
3. Perkara pertanahan, yaitu perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
Lalu, sengketa tanah sendiri dibagi dalam tiga klasifikasi yaitu;
1. Kasus berat, yang melibatkan banyak pihak, mempunyai dimensi hukum yang kompleks, dan/atau berpotensi menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan.
2. Kasus sedang, meliputi antar pihak yang dimensi hukum dan/atau administrasinya cukup jelas yang jika ditetapkan penyelesaiannya melalui pendekatan hukum dan administrasi tidak menimbulkan gejolak sosial, ekonomi, politik dan keamanan.
3. Kasus ringan, yakni pengaduan atau permohonan petunjuk yang sifatnya teknis administratif dan penyelesaiannya cukup dengan surat petunjuk penyelesaian ke pengadu atau pemohon.
Langkah-Langkah Penyelesaian Sengketa Tanah
Dalam menyelesaikan sengketa tanah ada beberapa hal yang bisa dilakukan berikut langkah-langkah yang bisa di lakukan jika terjerat kasus sengketa tanah:
1. Cek Asal Usul Kepemilikan Lahan
Periksa dengan seksama status lahan yang akan dibeli. Apakah memang benar lahan tersebut dimiliki oleh penjual, yang dibuktikan dengan kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) atau girik.
2. Cek Keabsahan Sertifikat
Jika memang si penjual dapat menunjukkan sertifikat atau girik atas lahan tersebut, Anda harus memastikan keabsahan dokumen tersebut. Caranya dengan mendatangi Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk mengetahui keaslian dokumen dan membuktikan bebas sengketa tanah.
3. Pastikan Kredibilitas Penjual
Selanjutnya, pastikan kredibilitas penjual. Jika penjual adalah pengembang maka periksalah rekam jejak perusahaan pengembang tersebut. Jika pengembang merupakan perusahaan terbuka, rekam jejaknya tertera dalam data Bursa Efek Indonesia yang dapat diakses secara online. Apabila penjualnya merupakan individu, Anda dapat bertanya kepada tetangga atau pengurus RT/RW di sekitar lokasi lahan.
4. Lakukan Pengaduan ke Kantor Kepala Pertanahan
Pengaduan ini bisa dilakukan secara tertulis melalui kotak surat, website atau loket pengaduan kementerian. Masyarakat bisa mengirim berkas pengaduan secara tertulis ke kantor pertanahan. Lalu, berkas pengaduan kemudian akan dibawa ke kantor wilayah pertanahan dan dialihkan kepada kepala kantor pertanahan.
Contoh Kasus Sengketa Tanah di Indonesia
1. Kasus Sengketa Tanah Matoa Tahun 2021
Sengketa ini berawal dari masa perjanjian kerjasama yang terhitung habis pada 18 Maret 2021 dan gugatan tentang pelanggaran kerjasama yang dilayangkan oleh PT Saranagraha Adisentosa ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Maret 2021.
Jika merujuk dari Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 470/KMK.01/1994 tanggal 20 September 1994 yang mengatur kerja sama menggunakan format bangun, operasi dan serahkan atau BOT. Dalam amandemen tersebut, disebutkan bahwa kerjasama berlangsung pada 18 Maret 1996 hingga 18 Maret 2021 dan akan diperpanjang selama 5 tahun sejak berakhirnya perjanjian yang dimaksud.
Perjanjian kerjasama tersebut dinilai telah habis dan tidak adanya izin dari Menteri Keuangan menurut Dispenau menjadi alasan bagi PT Saranagraha untuk berhenti memanfaatkan lahan Matoa. Selain itu, lahan ini juga disebutkan akan digunakan untuk keperluan pertahan negara. Hingga kini penertiban aset Barang Milik Negara (BMN) merupakan langkah lanjutan dari kasus sengketa ini telah dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU).
2. Kasus Sengketa Tanah Salve Veritate Tahun 2021
Perkara kasus mafia tanah ini bermodus mal-administrasi penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 4931/Cakung Barat atas nama Abdul Halim, di Cakung, Jakarta Timur, dengan tanah seluas 7,78 hektar.Awalnya, PT Salve Veritate yang merupakan pemilik lahan kaget dan tidak terima ketika tanahnya menjadi obyek sengketa karena diakui oleh orang lain.
Tanah milik PT Salve Veritate sejumlah 38 bidang dengan total luas 77.582 meter persegi yang terletak di Kelurahan Cakung Barat Jakarta Timur, itu berstatus Hak Guna Bangunan (HGB). Menindaklanjuti laporan kuasa hukum, akhirnya Kementerian ATR/BPN memeriksa kelengkapan dokumen tanah yang semula atas nama PT Salve Veritate tersebut.
Setelah dilakukan pengecekan, Sertifikat HGB PT Salve Veritate tidak ditemukan hal-hal yang membuat tim pemeriksa yakin bahwa proses penerbitan sertifikat sebagaimana tersebut di atas tidak sesuai dengan prosedur.
3. Kasus Sengketa Tanah Alam Sutera Tahun 2020
Berawal dari tersangka berinisial D berpura-pura berseteru dengan tersangka M atas tanah 45 hektar di Alam Sutera. Pada April 2020, D menggugat M secara perdata mengenai kepemilikan lahan itu. Padahal di atas lahan sudah ada warga dan perusahaan yang menempatinya.
Pada Mei 2020, M dan D kemudian bersekongkol untuk berdamai dan melakukan mediasi atas kasus sengketa tanah itu. Setelah terjadi kesepakatan damai, pada Juli 2020 komplotan mafia tanah itu mengajukan eksekusi lahan ke pihak Pengadilan.
Hal ini sontak mendapat perlawanan dari warga dan perusahaan yang melapor ke Polres Metro Tangerang Kota. Dari hasil penyelidikan, berkas klaim kepemilikan atas lahan 45 hektar itu ternyata palsu.
Keduanya bahkan menyertakan berkas tersebut ke Pengadilan untuk saling gugat. Para tersangka saat ini dijerat dengan Pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen dengan ancaman 7 tahun penjara
Ingin Beli Tanah, Begini Cara Cek Agar Tidak Terkena Sengketa
Menurut Abdul Jalil Hamzah, S.H, M.Kn, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah mengimbau agar masyarakat berhati-hati dalam membeli tanah.
“Mengutip pernyataan Staf Khusus Menteri ATR/Kepala BPN Bidang Kelembagaan sekaligus Juru Bicara Kementerian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi mengatakan bahwa dalam membeli sebidang tanah masyarakat harus terlebih dahulu datang ke kepala desa setempat untuk mengetahui pemilik tanah.” Ujarnya.
“Dari situ, kemudian akan diketahui apakah tanah tersebut sedang ada masalah dan terdapat sengketa dengan pihak lain atau tidak. Kepala Desa akan melacak apakah tanah tersebut ada masalah atau tidak.” Paparnya.
“Kalau tanah tersebut sudah ada pemiliknya, dan orang itu bukan yang menjual ke kita, itu dapat diketahui kepala desa. Jadi misalnya saya mau jual tanah bilang itu milik saya, ternyata milik orang lain. Itu dapat diketahui Kepala Desa,” Tukasnya.
Dia menuturkan, tanah yang clean and clear memiliki tandatangan Kepala Desa. Apabila sudah clean and clear di tandatangani Kepala Desa, calon pembeli tanah bisa mengeceknya ke Kantor Notaris untuk mengikat lahan tersebut.
Pendiri AJH Center ini menegaskan, dalam melakukan transaksi jual beli tanah pun harus diketahui Kepala Desa. Pasalnya, setiap perpindahan hak atau pembelian tanah itu pasti diketahui Kepala Desa karena akan memberikan surat.
Apabila tak ada surat yang memiliki tandatangan Kepala Desa, maka tidak dapat diketahui proses lebih lanjut oleh Notaris dan juga tidak bisa diproses oleh BPN. BPN sendiri hanya akan memproses karena ada tandatangan dari Kepala Desa.
“Kalau tidak ada tandatangan dan diketahui Kepala Desa ya jangan beli, berarti tanah abal-abal itu. Kalau misalnya ada kesalahan, yang akan ditangkap Polisi itu Kepala Desa dan bisa mempidanakan Kepala Desa karena menjual tanah milik orang lain. Tidak ada orang lain yang tahu selain Kepala Desa, tapi ada Kepala Desa yang nakal juga menjual berkali-kali. Kalau seperti itu akan kami perkarakan,” tuturnya.
Om Doel sapaan akrabnya juga menyarankan, agar tak melakukan alih tanah garapan kepada orang lain. Apabila melakukan alih garapan tanah di atas tanah orang lain, maka harus datang ke pemilik lahan tersebut. Demikian pungkasnya.
Kontributor : Abdul Jalil Hamzah, S.H, M.Kn
Editor : Eka Himawan